Rabu, 27 April 2011

Margarito Pakar Hukum Tata Negara: Memalukan Jika Seorang Menteri Tidak Tahu Aturan


JAKARTA  - Dari mana Menteri Pekerjaan Umum memperoleh kewenangan dalam membantu Peraturan Menteri (Permen), PU yang mengatur eksistensi dan keabsahan sebuah badan usaha. Pertanyaan ini sengaja  diajukan, pasalnya tak ada satupun ketentuan dalam UU Nomor 18 Tahun 1999 berikut PP 10 Tahun 2010 yang memberikan kewenangan kepada Menteri PU untuk membuat peraturan yang berlaku secara umum dan subtansial mengatur keabsahan sebuah badan usaha.

Apapun prinsip penyelenggaraan administrasi negara merupakan suatu tindakan hukum aparatur negara harus didasarkan kepada hukum atau prinsip legalitas. Karena, tindakan hukum yang tidak didasarkan pada hukum itu harus dikualifikasi sebagai perbuatan penyalahgunaan kekuasaan. Untuk itu, pak menteri ini harus diingatkan bahwa beliau tidak memiliki dasar hukum untuk menerbitkan Permen yang mengatur keabsahan badan usaha. Oleh UU Nomor 18 tahun 1999 mengatur kewenangan sertifikasi badan usaha yang telah didelegasikan kepada LBPJK.

Dalam hal ini, Menteri PU tidak hanya mengembalikan alih kewenangan. Dia harus diingatkan, karena menurut hukum sumber kewenangan itu hanyalah hukum. Hingga bentuk penegasan kewenganan itu merupakan atribusi mandat dan delegasi. Dan tiga bentuk sumber kewenangan ini sama sekali tidak diatur dalam Undang-Undang diatas. Jadi, saran saya kepada menteri adalah, segera cabut Permennya. Jangan kacaukan tatanan administrasi negara kita. Menteri harus diberi tahukan dia harus bekerja berdasarkan hukum alias bukan maunya sendiri. Memalukan kalau menteri tidak tahu aturan. Kata Pakar Hukum Ahli Tata Negara Universitas Indonesia (UI), Margarito kepada FPRM melalui telepon sekulernya, Kamis (28/4).

Sementara itu Ketua Umum FK-MJKI, Adherie Zulfikri Sitompul mengatakan, aturan yang dibuat Menteri PU Djoko Kirmanto dituding penuh kerancuan. Sementara disisi lain Mahkamah Agung telah mengabulkan permohonan Hak Uji Materiil. Bahkan MA memerintahkan agar pihak pemerintah segera membatalkan pasal yang dinilai rancu tersebut.
Padahal, sesuai dengan ketentuan pasal 34 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999, mengenai Forum dan Lembaga ini harus diatur melalui peraturan Pemerintah alias bukan Menteri.

Berdasarkan pasal 8 ayat (2) Peraturan MA RI No. 1 Tahun 2004 telah ditentukan, bahwa dalam hal 90 hari setelah putusan MA tersebut dikirim kepada Badan atau Pejabat Tata Negara yang mengeluarkan peraturan perundang-undangan. Tapi ironisnya pejabat yang bersangkutan tidak melaksanakan kewajiban. Demi hukum peraturan perundang-undangan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.
Untuk itu, FK-MJKI meminta agar pemerintah segera mencabut Peraturan Pemerintah No.04 tahun 2000, terkait perubahan atas peraturan Pemerintah No.28 tahun 2000, tentang usaha dan peran masyarakat Jasa Konstruksi, tegasnya.

Masih menurut Adherie, dalam hal ini Mahkamah Agung melalui uji Materiil/Judical Review yang amar putusannya telah menyatakan, bahwa pasal 10 ayat 4, pasal 26 dan,pasal 29 A serta pasal 29 B, Peraturan Pemerintah No 4 tahun 2010 tentang Usaha dan Peran masyarakat Jasa konstruksi. Dinilai bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi in Casu Undang-Undang No.18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi.

Sementara Djoko Kirmanto selaku menteri Pekerjaan Umum(PU), tidak pernah mentaati putusan mahkamah Agung tersebut. Malah lebih bernafsu lagi mengeluarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.10 PRT/M/2010 tentang cara pemilihan pengurus, masa bakti, tugas pokok dan fungsi serta mekanisme kerja Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi.

Hal senada juga diungkapkan Sekretaris FK-MJKI R. Hasudungan Sihombing, dalam hal ini pemerintah seharusya mengindahkan keputusan MA. "Jika hal ini tidak ada realisasi, sekaligus keputusan MA tak diindahkan pemerintah, dalam waktu dekat ini kami akan menurunkan ribuan massa lagi. Hingga pemerintah benar - benar mendengarkan aspirasi kami ini," tegas Hasudungan.
[bmb/fprm] 

Pemerintah Tak Indahkan Putusan MA, FK-MJKI Akan Turunkan Ribuan Massa


JAKARTA  - Menyikapi tuntuan Forum Komunikasi Masyarakat Jasa Konstruksi Indonesia (FK-MJKI), terkait rancunya aturan yang dibuat Menteri PU Djoko Kirmanto, ternyata disisi lain Mahkamah Agung mengabulkan permohonan Hak Uji Materiil. Bahkan MA memerintahkan agar pihak pemerintah segera membatalkan pasal yang dinilai rancu tersebut.

Menurut
Ketua Umum FK-MJKI, Adherie Zulfikri Sitompul, sesuai dengan ketentuan pasal 34 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999, mengenai Forum dan Lembaga ini harus diatur melalui peraturan Pemerintah alias bukan Menteri.

Berdasarkan pasal 8 ayat (2) Peraturan MA RI No. 1 Tahun 2004 telah ditentukan, bahwa dalam hal 90 hari setelah putusan MA tersebut dikirim kepada Badan atau Pejabat Tata Negara yang mengeluarkan peraturan perundang-undangan. Tapi ironisnya pejabat yang bersangkutan tidak melaksanakan kewajiban. Demi hukum peraturan perundang-undangan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.
Untuk itu, FK-MJKI meminta agar pemerintah segera mencabut Peraturan Pemerintah No.04 tahun 2000, terkait perubahan atas peraturan Pemerintah No.28 tahun 2000, tentang usaha dan peran masyarakat Jasa Konstruksi.

Masih menurut Adherie, dalam hal ini Mahkamah Agung melalui uji Materiil/Judical Review yang amar putusannya telah menyatakan, bahwa pasal 10 ayat 4, pasal 26 dan,pasal 29 A serta pasal 29 B, Peraturan Pemerintah No 4 tahun 2010 tentang Usaha dan Peran masyarakat Jasa konstruksi. Dinilai bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi in Casu Undang-Undang No.18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, tegasnya.

Sementara Djoko Kirmanto selaku menteri Pekerjaan Umum(PU), tidak pernah mentaati putusan mahkamah Agung tersebut. Malah lebih bernafsu lagi mengeluarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.10 PRT/M/2010 tentang cara pemilihan pengurus, masa bakti, tugas pokok dan fungsi serta mekanisme kerja Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi.

Hal senada juga diungkapkan Sekretaris FK-MJKI R. Hasudungan Sihombing, dalam hal ini pemerintah seharusya mengindahkan keputusan MA. "Jika hal ini tidak ada realisasi, sekaligus keputusan MA tak diindahkan pemerintah, dalam waktu dekat ini kami akan menurunkan ribuan massa lagi. Hingga pemerintah benar - benar mendengarkan aspirasi kami ini," tegas Hasudungan.
[bmb/rei]