Kamis, 03 November 2011

 PT Jamsostek Siap Laksanakan UU BPJS


 

JAKARTA  -    PT Jamsostek menyatakan siap melaksanakan amanat UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)  termasuk transformasi  program Jaminan Pelayanan Kesehatan ke BPJS Kesehatan (PT Askes), kata    Dirut PT Jamsostek Hotbonar Sinaga kepada pers.
Tentang  program pensiun yang akan dikelola PT Jamsostek menurutnya  perlu dilakukan penyesuaian peraturan perundangan terutama pada UU SJSN. “Sebagai operator kami siap jalankan amanah dan akan terus berupaya meningkatkan pelayanan, manfaat dan jumlah kepesertaan,” kata Hotbonar yang sedang  menghadiri ASEAN Business Club yang menghadirkan mantan PM Inggeris Tony Blair.
Dijelaskannya, pengalihan program Jaminan Pelayanan Kesehatan (JPK) akan dilakukan secara smooth (perlahan dan mulus) sebagaimana yang diharapkan UU BPJS, meskipun pengalaman mengajarkan pada setiap opting out (pencabutan dan pemindahan program) selalu sulit untuk dilakukan.
“Karena bukan hanya programnya yang harus dialihkan tetapi juga perangkat, sistem, sumber daya manusia, jaringan kerja, networking dan sebagainya,” kata Hotbonar. Dia menilai migrasi itu harus segera dikerjakan secara bertahap dan berharap bisa rampung saat tenggat waktu berakhir, yakni 2014.
Mengenai Program Pensiun Manfaat Pasti (PPMP) yang saat ini tercantum dalam UU SJSN hendaknya diubah menjadi Progam Pensiun Iuran Pasti (PPIP).
“PPMP tidak bisa diselenggarakan dengan peserta (pekerja) dari  beragam perusahaan, tetapi harus dilaksanakan oleh badan penyelenggara Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) yang dibentuk oleh perusahaan pemberi kerja dengan mengacu pada UU No.11/1992 tentang Dana Pensiun.
Sebelumnya, Sidang Paripurna DPR mengesahkan UU BPJS yang mengatur BPJS Kesehatan sebagai penyelenggara Jaminan Kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia. Program itu akan dilaksanakan pada 2014
Konsekwensi dari pembentukan BPJS Kesehatan itu maka peserta dan program JPK Jamsostek dimigrasikan (dipindahkan) ke BPJS tersebut. [ leo/bmb ]
 Prinsip Keha-hatian Dalam Menjalankan BPJS



JAKARTA - Menteri Keuangan Agus Martowardojo menjelaskan, dengan adanya krisis global ini pemerintah telah menyiapkan antisipasi krisis dalam Undang Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). "Misalnya ketika di SJSN contohnya penerimaan negara turun drastis, atau kita sedang ada bencana alam jadi ada situasi yang membuat sesuatu force majeur, seperti di luar negeri itu mendadak tingkat suku bunganya rendah sekali, sehingga penerimaan dari hasil investasinya rendah, sehingga terjadi akumulasi defisit yang besar. dia punya penerimaan tidak memadai," jelas Agus ketika ditemui di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Jumat (28/10/2011).

            Agus menjelaskan, walaupun dalam kondisi global yang tidak menentu sekarang ini, Indonesia tetap membutuhkan UU BPJS. Namun sambung Agus, pemerintah akan menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menjalankannya. Pasalnya UU ini sangat rentan jika terkena dampak krisis. "Kita pelajari. Paling tidak ada kesepakatan dalam satu sistem kita memberikan mafaat kepada masyarakat itu bagus tapi mesti ada azas kehati-hatian," tambahnya.
 
"Yang penting ada pasal yang menjaga agar BPJS tetap sehat dan perekonomian nasional tetap sehat. itu yang akan membuat pandangan masyarakat global ke Indonesia akan positif, karena kita membutuhkan sistem jaminan sosial, tapi tidak boleh menjaga kehati-hatian," sambungnya.

            Diberitakan sebelumnya setelah melewati waktu yang lama akhirnya RUU BPJS 1 dan RUU BPJS 2 disahkan di sidang paripurna DPR RI. Agus menjelaskan sekarang telah menemukan kesepakatan kalau RUU BPJS 1 akan mulai berlaku pada Januari 2011 sedangkan BPJS 2 mengenai ketenagakerjaan akan berlaku pada 1 Juli 2015.
 
 
"Pemerintah dan wakil rakyat menyepakati BPJS 1 mengenai Kesehatan berlaku pada 1 Januari 2014 dan BPJS 2 mengenai ketenagakerjaan akan berlaku pada 1 Juli 2015," ungkap Agus. [ leo/bmb ]
Dirut PT Jamsostek Lantik lima Direktur

JAKARTA–  Dalam rangka peningkatan pelayanan maksimal serta  penyempurnaan manajemen Dirut PT Jamsostek H.Hotbonar Sinaga  melakukan rotasi manajemen pada tingkatan Direktur .

 
 Myra SR Asnar yang semula Direktur Keuangan menjadi Direktur Perencanaan, Pengembangan dan Informasi, HD. Suyono yang sebelumnya menjabat Direktur Direktur Perencanaan, Pengembangan dan Informasi menjadi Direktur Umum dan SDM. Karsanto yang semula Direktur Kepatuhan dan Risk Management menjadi Direktur Keuangan, sedangkan Direktur Operasi dan Pelayanan Ahmad Ansyori menjadi Direktur Kepesertaan. Djoko Sungkono yang semula adalah Direktur Umum dan SDM menjadi Direktur Pelayanan.
 
                Terkait dengan itu perubahan nomenklatur jabatan direksi tersebut diantaranya memisahkan Direktorat Operasional dan Pelayanan menjadi Direktorat Kepesertaan dan Direktorat Pelayanan.
Berikut perubahan nomenklatur direktorat dan jabatan tersebut yang didasarkan pada keputusan Menneg BUMN ad interim M Hatta Rajasa melalui SK No.KEP-213/MBU/2011 tentang Perubahan Nomenklatur Jabatan dan pengalihan Tugas Anggota Direksi Perusahaan Perseroan PT Jamsostek yang dikeluarkan 13 Oktober lalu.
 
usai pelantikan lima direktur yang dirotasi tersebut Hotbonar menjelaskan, rotasi dilakukan untuk memperbaiki kondisi yang ada saat ini agar BUMN itu bisa lebih fokus pada peningkatan kepesertaan dan meningkatkan kualitas pelayanan kepada pekerja yang menjadi peserta.
 
Saat ini peserta aktif jamsostek masih relatif kecil jika dibandingkan peserta non aktif. Peserta aktif per-September 2011 secara nasional sebanyak 10,3 juta orang dari 29 juta peserta yang terdaftar, sementara masih terdapat potensi kepesertaan informal sekitar 6 juta dan sekitar 70 juta peserta dari pekerja informal.
“Kita juga berharap angka peserta yang identitas tidak jelas (PHK atau tidak memberi tau pindah kerja) bisa dikurangi,” kata Hotbonar yang berhadap menjadi peserta jaminan sosial merupakan kebutuhan bukan sekadar memenuhi kewajiban UU. [ leo/bmb ]
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofyan Wanandi Tolak Bayar Tambahan Jaminan Kesehatan



JAKARTA - Telah disahkannya Undang-Undang (UU) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) beberapa waktu kemarin masih menyisakan persoalan. 

            Pasalnya beberapa pihak seperti Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menuturkan keberatannya mengenai UU BJPS, apabila ada tambahan beban yang harus dibayarkan baik oleh pengusaha maupun oleh buruh.

            "Kita cuma mau apa yang kita bayarkan kepada Jamsostek, itu saja dulu, jangan ada tambahan. Kalau pemerintah mau tambah untuk kesehatannya, itu tentu bayar pakai APBN-nya, tidak boleh kita (pengusaha)," ungkap ketua Apindo Sofyan Wanandi saat diskusi Sindo Hot Topic "BPJS untuk Siapa?" di Jakarta, Senin (31/10/2011).

            Hal ini, diungkapkan Sofyan karena ada anggapan BPJS ini membebankan pengusaha dan buruh sebesar 15 persen. Perhitungan ini, didapatkan dari diskusi dengan badan penyelenggara, di mana didalamnya terdapat tim dari Kementerian Perekonomian, dan Kementerian Kesejahteraan.

            "Di situ lah diskusi dari badan pelaksana, ada dari departemen, ada dari staf ahli daripada buruh dan perwakilan pengusaha. Jadi keluarlah angka 15 persen tambahan yang mereka inginkan supaya buruh bayar tujuh persen, pengusaha bayar delapan persen tambahan, memang hal ini tidak dibicarakan di DPR, tapi di badan pelaksana. Tentu di 2014, ini akan dibuat melalui peraturan pemerintah," paparnya.

            Sofyan menerangkan, pada dasarnya pihak pengusaha tidak anti dengan jaminan sosial. "Kita sebenarnya tidak pernah anti dengan jaminan sosial, kita cuma tidak mau bahwa jaminan sosial tersebut menambah beban pengusaha sama buruh, itu saja. Kalau pemerintah mau bayar dari APBN, silakan saja tidak apa-apa," pungkasnya. [ leo/bmb ]
                                                                 
Ada Kejanggalan Dalam Penyusunan UU BPJS

 
JAKARTA -  Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) mengatakan, setelah pembicaraan tingkat II atau pengambilan keputusan pada Rapat Paripurna, pemerintah dan DPR masih membahas penjelasan hingga sinkronisasi terhadap keseluruhan materi dan rumusan UU BPJS.   "Maka ini tidaklah lazim dan patut dipertanyakan. Mungkin saja kesepakatan terhadap RUU BPJS pada rapat paripurna 28 Oktober 2011 lalu, hanya menyepakati salah satu dari dua opsi yang saat itu masih menjadi polemik, baik antarfraksi maupun DPR dengan Pemerintah. Bukan terhadap keseluruhan materi RUU BPJS yang sebenarnya sudah mendapatkan persetujuan sebelumnya (pada Pembicaraan Tingkat I)," kata Direktur Monitoring, Advokasi, dan Jaringan PSHK Ronald Rofiandri di Jakarta, Rabu (2/11/2011).
                Ronald mengaku baru saja mendapatkan kabar dari Ketua Panja RUU BPJS Ferdiansyah bahwa pemerintah dan DPR masih menjadwalkan serangkaian proses terkait penyelesaian UU BPJS. Padahal, setiap Pembicaraan Tingkat II atau pengambilan keputusan pada Rapat Paripurna DPR, sudah pasti menyepakati dan menyetujui bersama suatu RUU menjadi UU. Tentu saja wujud yang disepakati adalah seluruh materi yang tertuang dalam naskah akhir/final dari RUU tersebut.  Biasanya, lanjut Ronald, dokumennya pun dapat peroleh bahkan, sebelum rapat paripurna dimulai. Menurutnya, ketentuan tentang Pembicaraan Tingkat II telah diatur dalam Pasal 69 UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 151 UU 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), dan Pasal 150 Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib. Dia menjelaskan Jika yang dimaksud "masih mau dirapikan" sebatas merapikan perumusan redaksional atau materi UU BPJS berdasarkan kesepakatan seluruh pihak saat rapat paripurna maka, hal demikian masih bisa dimaklumi. Namun, harus ada batas waktunya karena di sisi lain, pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM akan melanjutkan kewajiban Pengundangan sebagaimana diatur dalam Pasal 85 UU 12/2011.
                                Ronald berpendapat, Jika deskripsi tersebut yang dimaksud, sesungguhnya tidak ada persoalan atau pelanggaran prosedur. Namun jika yang terjadi adalah mengulang sebagian proses dari Pembicaraan Tingkat I dengan membongkar pasal-pasal RUU BPJS yang sesungguhnya sudah disetujui pada pembahasan sebelumnya dan bukan yang dipersoalkan yaitu, tentang periode pemberlakuan BPJS I dan BPJS II maka, disinilah ada pelanggaran prosedur dari UU 12/2011, UU 27/2009, dan Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2009.

"Ini bukan sekadar taat asas aturan main tapi, menempatkan proses legislasi secara transparan dan bertanggung jawab," pungkas dia. [ leo/bmb ]