Senin, 07 November 2011

Sjukur Sarto : Ketua Umum K-SPSI Pelayanan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Perlu Diawasi

 
JAKARTA – Perobahan kebijakan sebagai implemmentasi Badan penyelenggara jaminan social , salah satunya  Jaminan Pemeliharaan Kesehatan ( JPK ) dari PT Jamsostek (Persero) ke badan penyelenggara jaminan sosial (BPJS) kesehatan , perlu pengawalan yang ketat, demikian dikatakan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (K-SPSI) .
Seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang (UU) tentang BPJS yang baru disahkan pada Jumat (28/10) lalu. K-SPSI mengkhawatirkan migrasi program JPK ini justru akan menurunkan standar pelayanan kesehatan untuk pekerja.
Ketua Umum K-SPSI Sjukur Sarto mengatakan, kualitas pelayanan JPK kepada pekerja dikhawatirkan akan disetarakan dengan masyarakat miskin dan tidak mampu. Padahal pekerja membayar iuran untuk mendapatkan pelayanan jaminan sosial ini. Berbeda dengan masyarakat miskin dan tidak mampu yang iuran kepesertaannya akan ditanggung oleh pemerintah.
Untuk itu, Sjukur Sarto mengatakan, pekerja merasa perlu mewaspadai janji pelayanan kesehatan maksimal dan seumur hidup bagi pekerja melalui BPJS kesehatan. Apalagi kalangan pekerja bisa menjadi masyarakat penerima bantuan iuran dari pemerintah setelah 6 bulan menganggur setelah mendapat pemutusan hubungan kerja (PHK) dari tempatnya bekerja. Masalah ini harus diatur dan ditetapkan terlebih dulu oleh pemerintah.
Dia juga mengkhawatirkan kemampuan fiskal pemerintah yang mungkin tidak mampu memberikan jaminan kesehatan maksimal bagi seluruh rakyat miskin. Ini bisa mendorong BPJS kesehatan menggunakan dana iuran dari pekerja untuk mendanai atau menyubsidi layanan untuk masyarakat miskin/tidak mampu.
Pemerintah pasti menggunakan dalih subsidi silang dan gotong royong. Jika ini terjadi, maka tidak benar. Ini sama saja pemerintah dan DPR sejak awal memang ingin memanfaatkan dana milik pekerja untuk menjalankan kewajiban negara kepada rakyatnya, tutur Sjukur.
Seperti diketahui, DPR dan pemerintah mengesahkan UU BPJS yang memuat sejumlah ketentuan. Dia antaranya ditetapkannya adanya 4 badan usaha milik negara (BUMN) penyelenggara jaminan sosial yang ada menjadi 4 BPJS. PT Askes menjadi BPJS Kesehatan dan PT Jamsostek menjadi BPJS Tenagakerja. Sementara PT Taspen dan PT Asabri akan menjadi BPJS yang akan ditentukan selanjutnya. Dengan ini maka program jaminan pemeliharaan kesehatan (JPK) yang diselenggarakan PT Jamsostek untuk kalangan pekerja dipindahkan ke BPJS kesehatan. [ leo/bmb]
BPJS Perlu Dukungan Data Nomor Induk Kependudukan Yang Baik


 
JAKARTA : Kesiapan Badan Pelaksana Jaminan Sosial I (BPJS I) untuk beroperasi selambat-lambatnya pada 2014 memerlukan dukungan sistem informasi atau link yang terhubung dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK).Semua data peserta harus terdaftar dan terekam dalam database nasional, kata Hasbullah Thabrany dari Center for Health Economics and Policy Universitas Indonesia (UI) saat dihubungi di Jakarta, Minggu (6/11/2011).
Selain itu dalam mempersiapkan beroperasinya BPJS I, kualitas dan moralitas petugas BPJS harus di-upgrade dengan pemberian pemahaman jabatan publik agar dalam melakukan tugas sepenuhnya untuk memuaskan peserta.Namun sebelum sampai pada perbaikan Sumber Daya Manusia (SDM) dan fasilitas penunjang, pertama kali Pemerintah harus menuntaskan Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (Perpres) mengenai Jaminan Kesehatan dan BPJS Kesehatan di tahun 2012. Selain itu menurut Hasbullah, sosialisasi Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) dan UU BPJS ke seluruh rakyat juga sangat diperlukan. Demikian dengan pendanaan diperlukan  Rp1 hingga Rp2 triliun untuk kesiapan, sosialisasi, dan sinkronisasi peraturan teknis, jelasnya.
Hal yang tidak kalah penting untuk mempersiapkan beroperasinya BPJS I adalah PT Askes yang akan diubah menjadi BPJS I, harus mengubah semua prosedur dan mind set para stafnya agar konsisten dengan tugas UU SJSN dan UU BPJS. Kementerian Kesehatan dan Pemerintah Daerah, dibantu oleh swasta juga harus membangun lebih banyak tempat tidur di Rumah Sakit kelas I, II, dan III.
Sedangkan untuk mempercepat persiapan beroperasinya BPJS I,  Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) UI ini mengatakan dapat dilakukan dengan dg persiapan cakupan,  memperluas penerima bantuan iuran, penduduk miskin, tidak mampu dan penduduk di sektor informal dg besaran minimum RP 20 ribu per orang per bulan. Menurutnya dana APBN dan APBD cukup memadai untuk digunakan, hanya saja saat ini belum ada political will dari pemerintah.
Pemda membayar sebagian iuran, sharing dengan pemerintah pusat, agar rakyatnya segera terjamin. Selain itu perlu ada penegakan hukum untuk pengusaha yg belum bayar iuran kesehatan, jelasnya lagi.Beberapa bidang yang paling krusial yang harus dibenahi dalam pelayanan kesehatan diantaranya pelayanan yang nondiskriminatif, sosialisasi kepada seluruh dokter yang bekerja di Rumah Sakit, Klinik dan Puskemas. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) beserta  Dinas Kesehatan juga perlu mensyaratkan sertifikasi pemahaman atau ujian mengenai Jaminan Kesehatan Nasional agar bisa melayani dengan baik dan benar, menghitung besaran iuran dan pembayaran yang sesuai, yang bisa diterima pasar.
Sementara saat ini BPJS belum berjalan, jaminan kesehatan yang sebelumnya sudah berjalan tidak boleh terganggu. Jaminannya harus dinaikkan menjadi sama dengan benefit yang diterima PNS. kelas perawatan peserta jamkesmas dan jamkesda boleh  tetap di kelas III. Tetapi pegawai swasta dan PNS harus tetap dirawat di kelas II dan kelas I, tergantung besar gajinya, terangnya lagi. [ leo/bmb ]
 
Buruh Masih Pertanyakan Legitimasi UU BPJS

JAKARTA - Kalangan Buruh /Pekerja menilai proses pembahasan lanjutan UU BPJS yang telah disahkan pada Jumat pekan lalu sudah melanggar prosedur dan mekanisme dalam pembuatan suatu UU.  Ketua Umum Serikat Pekerja Nasional (SPN) Bambang Wirahyoso , misalnya mengatakan, pengesahan UU BPJS terkesan dipaksakan karena ada kepentingan di baliknya.
"Undang-undang ini sangat terang-benderang bukan untuk kepentingan rakyat dan buruh. Karena itu, kita tetap akan konsisten menolak UU BPJS yang sudah salah prosedural ini," kata Bambang.
Menurutnya, SPN akan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Bambang mengatakan, pengesahan UU BPJS menjadi preseden buruk DPR terhadap rakyat Indonesia, salah satunya dengan cara tidak lazim dalam membuat suatu produk undang-undang.
"Tidak perlu bicara substansi, prosedurnya saja sudah salah dan dapat digugurkan oleh Mahkamah Konstitusi," kata Bambang. Oleh karena itu,, SPN akan melakukan advokasi untuk penarikan dana jaminan hari tua (JHT) secara serentak bersama kawan kawan buruh yang lain. Tahapan awalnya pengambilan formulir, pengembalian, dan setelah itu penarikan dana JHT.
Hal senada juga disampaikan  Ketua Umum Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) 1992 Sunarti mengatakan, sejak awal, proses pembahasan RUU BPJS sudah tidak jelas dan dipaksakan. Ia menambahkan, jika UU itu untuk kepentingan rakyat, seharusnya dibahas secara sistematis dan mengakomodasi aspirasi rakyat.
"Kami bertanya apakah ini undang-undang titipan (pesanan) atau sudah teken kontrak atau kejar setoran, sehingga membuat seluruh anggota DPR berani melanggar prosedur dalam proses legislasi," kata Sunarti. ia mencatat sejumlah kejanggalan pengesahan UU BPJS. Di antaranya saat diketok di paripurna, tidak ada draf final, dan sampai sekarang masih dibahas di sebuah hotel. "DPR seperti main-main dalam membuat undang-undang," ucapnya.
Pelaksanaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan dan ketenagakerjaan tidak akan mengubah pengelolaan dana jaminan hari tua pekerja (JHT). Kondisi tersebut terjamin jika tidak ada peleburan BUMN jaminan sosial yang ada saat ini atau perpindahan pengelolaan ke BPJS lain.
Hal itu diungkapkan Direktur Utama PT Jamsostek Hotbonar Sinaga di Jakarta, Kamis (3/10). Menurutnya, PT Jamsostek siap melaksanakan UU BPJS.
"Sebagai operator kami siap melaksanakan amanat UU tersebut," kata Hotbonar. [ leo/bmb ]