Selasa, 31 Mei 2011

Pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Mesti Mengacu UU SJSN

JAKARTA - Pembahasan pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial ( BPJS ) saat ini masih berlanjut, pemerintah dan DPR mencari solusi terbaik demi perlindungan social bagi seluruh warga masyarakat .[pemerintah tak lagi ngotot mempertahankan keberadaan BUMN sebagai pelaksana pelayanan jaminan sosial. Namun ajuan formulasi baru tetap perlu dikritisi. Hal ini disampaikan Direktur Eksekutif Institut Jaminan Sosial Indonesia (IJSI)  Cuncun Jaya  kepada media di Jakarta (29/5).

            Tambahkan, mengacu pada best practice penyelenggaraan jaminan sosial di luar negeri, badan penyelenggara jaminan sosial (BPJS) seharusnya merupakan badan hukum independen . pembentukannya pun sama-sama melalui UU. Menurut dia,sembilan prinsip Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) tidak memuat atau mengatur bahwa BPJS harus berada di mana atau di bawah siapa. “Namun,melihat naskah akademik UU SJSN, jelas bahwa BPJS berada di bawah Presiden yang dibantu DJSN (Dewan Jaminan sosial Nasional), bukan di bawah kementerian tertentu terlebih Kementerian BUMN,“ ujarna
            Pembentukan dua BPJS versi pemerintah, lanjut dia, lebih memenuhi amanat UU SJSN dan Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 007/PUU-III/2005 dibandingkan versi DPR yang ingin melebur empat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menjadi satu BPJS.  Namun perlu diingat bahwa BPJS harus merupakan transformasi dari empat BUMN yakni Asabri,Askes, Taspen, dan Jamsostek, bukan badan baru seperti yang diinginkan oleh pemerintah. Pembentukan BPJS merupakan amanat UU SJSN yang disahkan pada 2004. Namun, pembahasan Rancangan Undang-Undang BPJS antara pemerintah dan DPR sempat mandek. Ini karena kencangnya tarik ulur seputar status BPJS. Pemerintah terkesan berat melepas penyelenggaraan dan pengelolaan jaminan sosial yang selama ini berada di tangan BUMN berbentuk perusahaan terbatas (PT).
            Jika versi pemerintah belum dapat terima DPR lantaran karakteristik penyelenggaraan jaminan sosial, alternatif dua penyelenggara patut dipertimbangkan, yakni terdiri atas BPJS untuk sektor formal dan BPJS pekerja mandiri. BPJS sektor formal melayani tenaga kerja dalam hubungan kerja yang berjumlah sekitar 35 juta jiwa.Sedangkan BPJS pekerja mandiri menyelenggarakan SJSN untuk petani, nelayan, tukang bakso, pedagang di pasar,kaki lima,dan di sektor informal lainnya yang jumlahnya mencapai sekitar 64 juta orang.
           Sementara , Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Agung Laksono mengatakan, kelembagaan BPJS masih bisa dikompromikan. Sementara itu,Ketua Panja RUU BPJS Ahmad Nizar Sihab mengungkapkan, pemerintah sudah sepakat bahwa keempat BUMN akan ditransformasikan program dan lembaganya, namun memerlukan masa transisi dalam prosesnya yang akan dibahas di masa bab peralihan. Nizar juga menyatakan bahwa pemerintah sudah sepakat untuk menjadikan BPJS memiliki badan wali amanah. Persoalannya apakah empat BUMN penyelenggara jaminan sosial yang sudah ada dilebur atau tetap eksis tanpa audit karena dibentuk badan baru yang nonprofit.
             Panitia Kerja (Panja) Komisi IX DPR mencatat tujuh hal yang perlu dibahas dengan pemerintah terkait daftar isian masalah (DIM) RUU BPJS dalam rapat tadi malam.Wakil Ketua Panja RUU BPJS Ferdiansyah menjelaskan, tujuh hal yang perlu mendapatkan persamaan persepsi adalah definisi BPJS, jumlah BPJS,badan hukum,organ struktur, masa peralihan, bab kepesertaan,dan sanksi. Menurut Ferdiansyah, jumlah BPJS mengenai fleksibel tunggal atau multi.Sedangkan badan hukum terkait substansi wali amanah. Terkait organ/ struktur,DPR sepakat dengan BPJS di bawah Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). Dia mengatakan, masa peralihan dalam RUU BPJS masih menunggu simulasi dari pemerintah. [ leo-bmb]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar