Kalangan Buruh Gugat BPJS
JAKARTA FPRM - Ketua Umum Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia
(FNPBI) Lukman Hakim mengatakan organisasinya akan menggugat
Undang-undang nomor 40 tahun 2004 tentang Badan Pelaksana Jaminan Sosial
(BPJS) ke Mahkamah Konstitusi.
Menurutnya, undang-undang ini sangat merugikan dan mencederai perjuangan buruh selama ini.
Ia
mengatakan, pihaknya berharap Mantan Menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza
Mahendra menjadi kuasa hukum dari para buruh atas gugatan tersebut.
Kami
sedang mempelajari dan merumuskan apa-apa saja yang akan menjadi materi
dalam gugatan dalam waktu dekat ini, kata Lukman di Galeri Cafe TIM,
Jakarta, Selasa (30/10/2012).
Lukman menambahkan, pada saat UU BPJS
disahkan DPR pada 28 Oktober 2011 masih ada perubahan. Perubahan
tersebut mengharuskan masyarakat membayar Rp 27.000 per bulan.
Iuran
jaminan sosial
yang ditanggung negara sendiri, lanjutnya, hanya mencakup fakir miskin
yang pendapatannya kurang dari Rp 300.000 per bulan. Pemungutan iuran
itu dinilainya sangat merugikan buruh.
Sebelum UU BPJS disahkan biaya
asuransi Jamsostek ditanggung pengusaha dengan besaran 3% dari upah
sebulan untuk buruh yang masih lajang dan 6% bagi buruh berkeluarga.
Dengan adanya UU BPJS ini buruh harus rela gajinya dipotong 2% dari upah
sebulan, tandasnya.
Selain FNPBI, ada belasan organisasi buruh
lainnya yang akan ikut mendukung gugatan itu. Elemen tersebut antara
lain Aliansi Serikat Pekerja dan Buruh Indonesia (ASPBI), Konferensi
Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Serikat Pekerja Nasional
(SPN), Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) 92, Gaspermindo,
Gabungan Serikat Buruh Independen (GSBI), Federasi Serikat Pekerja (FSP)
BUMN, dan Dewan Kesehatan Rakyat (DKR). [leo bmb]
Kepesertaan Jamsostek Jadi Indikator Keberhasilan
Pemda
JAKARTA FPRM - Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
(Kemenakertrans) tengah merancang pemberian penghargaan kepada
pemerintah daerah (pemda) yang sukses menciptakan iklim hubungan
industrial yang baik di daerahnya masing-masing.
Salah satu faktor
penilaian yang menjadi indikator keberhasilan adalah kesuksesan Pemda
meningkatkan kepesertaan program jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek)
di daerahnya masing-masing.
"Kita sedang merancang program
memberikan penghargaan untuk pemda-pemda yang sukses meningkatkan
kepesertaan Jamsostek," kata Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan
Industrial dan Jaminan Sosial, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
(Kemenakertrans) R Irianto Simbolon usai membuka acara "Revitalisasi
Mediator Hubungan Industrial dan Koordinasi Fungsional Jaminan Sosial
Tenaga Kerja" Ujarnya
Menurut Irianto, Kemenakertrans mendorong pemda-pemda di seluruh Indonesia berperan aktif meningkatkan kepesertaan program
Jamsostek di wilayahnya masing-masing.
Kemenakertrans sendiri
melalui Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) di daerah akan mengefektifkan
peran mediator hubungan industrial sebagai ujung tombak dalam mekanisme
mediasi penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Nantinya,
mediator tidak hanya aktif penyelesaian perselisihan hubungan
industrial saja. Tapi juga melakukan fungsi pembinaan dan penyuluhan
tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja agar risiko sosial tenaga kerja
terlindungi.
Terkait hal tersebut, Kemenakertrans bekerjasama dengan
PT Jamsostek (Persero) sebagai badan penyelenggara jaminan sosial
tenaga melalukan program revitalisasi mediator hubungan industrial yang
saat ini jumlahnya hanya sekitar 1.300 orang.
Irianto mengakui salah
satu kendala dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial masih
terbatasnya jumlah petugas mediator hubungan industrial. Saat ini hanya
terdapat 1.300 orang mediator untuk menangani
217.000 perusahaan di seluruh Indonesia.
Pada kesempatan yang sama
Direktur Kepesertaan PT Jamsostek (Persero) Junaedi, mengakui
kepesertaan Jamsostek di suatu daerah patut dijadikan tolok ukur untuk
mengetahui keberhasilan daerah bersangkutan dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakatnya.
"Karena dengan mengcover seluruh tenaga
kerja di suatu daerah, berarti juga melaksanakan pengentasan kemiskinan
dan mensejahterakan tenaga kerja di daerah tersebut," terangnya.
Apalagi,
jaminan sosial adalah hak warga negara khususnya para pekerja. Tanpa
jaminan sosial akan banyak masyarakat yang berpotensi miskin. Sebaliknya
semakin banyak masyarakat yang mendapatkan jaminan sosial, maka akan
menjadi potensi ekonomi.
Dia menambahkan, dengan potensi angkatan
kerja sebanyak 110 juta yang dimiliki Indonesia, seharusnya jumlah
pekerja yang terdaftar dalam program Jamsostek juga bisa ditingkatkan
secara signifikan.
"Kita punya angkatan kerja sektor
formal sekitar 40 juta, sektor informal 70 juta, namun yang terdaftar
dalam program Jamsostek saat ini baru sekitar 10 juta peserta aktif.
Artinya masih ada sekitar 100 juta pekerja yang belum terlindungi dan
berpotensi miskin karena tidak terlindungi dalam program jaminan
sosial," terangnya.
Junaedi mengatakan, peran mediator hubungan
industrial selama ini sangat membantu mereka dalam meningkatkan
kepesertaan program Jamsostek di masing-masing daerah.
Dia juga
sangat mendukung wacana Kemenakertrans yang akan memberikan penghargaan
bagi pemda yang sukses menciptakan iklim hubungan industrial yang baik
dan memasukan tingkat kepesertaan Jamsostek sebagai salah satu
indikator. "Karena dibandingkan dengan kenaikan upah yang tak seberapa,
pemenuhan jaminan sosial bagi tenaga kerja lebih signifikan,"
terangnya.[leo bmb]